Tuesday, May 13, 2008

Ponsel Beracun

“Pagi Nda, barang baru nih?” Sapa Nia pada sahabatnya yang gak pernah mau ketinggalan jaman. Winda tertawa kecil, “iya dong, keren deh.” Nia terdiam seketika, ia memaklumi kata-kata sahabatnya. Winda bukan anak dari keluarga kaya, tetapi kali ini pekerjaan bapaknya semakin meningkat. Sehingga membuat Winda terkadang royal dan norak.

* * * * *

Bel istirahat berbunyi, Nia terburu-buru menyalin tulisan ibu guru dicatatannya. Winda yang kini sudah tidak peduli dengan sekolah mengajak Nia ke kantin, “Nia cepetan dong. Nanti kita gak keburu jajan, gimana?” Nia menjawab sambil terus melanjutkan salinan, “Winda! Gak mungkin dong, ini baru bel. Dikit lagi kok.” Dua menit kemudian mereka sudah berjalan menuji kantin. Perlahan Winda mengeluarkan ponselnya yang lagi jadi perhatian di dunia elektronik. Dengan senyum bangga ia terus berjalan menggenggam ponsel tersebut. Nia mengernyitkan keningnya menatap tingkah sahabtnya dan mencoba diam.

Di kantin, Nia asyik melahap semangkuk bakso. Winda masih sibuk dengan acara pamerannya. Beberapa detik kemudian, dering pesan pada ponsel Nia berbunyi. Winda tertawa kecil, “jelek banget sih bunyi ponsel kamu. Itu udah kuno tau.” Nia mencoba tersenyum dan tidak menghiraukan Winda. Tetapi Winda terus membandingkan ponsel miliknya. Tentu saja Nia tersinggung, sebab hanya ponsel seperti itu yang sanggup dibelilkan oleh almarhum ayahnya. Sampai akhirnya Winda mengungkit gaji orang tua Nia. “Winda!” Winda terkejut, tapi ia tidak mau kalah dan membalas. “Apa sih kamu teriak-teriak? Terima kenyataan dong!” Air mata Nia mengalir. Dengan sisa keberaniannya ia menjelaskan pada Winda. “Kamu sudah tau keadaan aku, tetapi bukan untuk diungkit-ungkit dan diremehkan. Lagipula, gaji itu urusan pribadi. “Winda tersenyum sinis. “Eh, Nia. Anak miskin kok belagu? Gak waras.” Setelah melontarkan kalimat yang menusuk hati Nia, Winda berjalan meninggalkan Nia serta semangkuk baksonya yang masih utuh. Nia tidak kuat dengan keadaannya kali ini, lalu ia izin pada guru piket untuk pulang ke rumahnya dengan alasan sakit.

* * * * *

Sepulang sekolah, Winda berjalan-jalan di mall. Lalu ia ingin berpose sejenak di sebuah kafe. Namun ia terkejut, karena ia tidak menemukan ponselnya. Ia terus mencari, sampai akhirnya ia mengumumkan di speaker mall. Beberapa orang yang lalu lalang menggelengkan kepada, “hilang ponsel, udah kayak hilang nyawa aja.” Waktu sudah menujukkan pukul delapan malam, tetapi sampai kini belum ditemukan ponsel milik Winda. Lalu Winda pulang dengan lesu. Ia berniat untuk segera memaksa bapaknya untuk membelikan ponsel peluncuran terbaru yang tadi ia lihat beredar di sepanjang jalan.

* * * * *

“Malam ma, pa.” Sapa Winda pada kedua orang tuanya yang sedang bersantai di teras rumah. Mama Winda yang hendak meneguk teh hangat, segera meletakkan kembali di meja. “Winda, kenapa baru pulang sayang?” Tanya mama. Winda hanya terdiam, ia masih sedih dengan ponselnya yang hilang. Kemudian ayah Winda mengernyitkan heningnya. Penasaran dengan tingkah anaknya yang berbeda. “Ada apa sih Nda? Papa mau tau dong?” Winda pun menceritakan pada papa dan mamanya tentang ponselnya yang hilang.

“Alhamdulillah.” Ucap mamanya. Winda menganga, tidak mengerti. “Loh, kok mama bilang Alhamdulillah sih? Itukan bencana?” Mama Winda menjawab sambil tersenyum mesra, “ya iya dong. Kan bersyukur, karena yang hilang bukan kamu. Iya kan?" Papa Winda hanya menggeleng. Winda kemudian merayu papanya untuk membelikan ponsel baru. “Boleh ya pa?” Mama Winda berdehem, “jangan pa. Winda, kamu kan masih ada ponsel yang lama-lama itu. Itu digunakan, jangan mubadzir.” Winda mengeluh atas ucapan mamanya. Papa Winda lalu memutuskan, “sudah, gak apa-apa ma. Yang penting Winda senang.” Ini bukan yang pertama kali Winda dilarang oleh mamanya. Namun ia sangat dimanja oleh papanya. Sehingga keinginan Winda selalu terpenuhi.

* * * * *

Keesokan harinya, Winda kembali melakukan rutintas pamerannya. Sambil berjalan mencari keberadaan Nia, ia mengayun-ngayunkan ponsel barunya. Seorang teman plus tetangga Nia menghampiri Winda, “Kamu ponsel baru lagi? Bukannya kemaren baru ganti?” Winda tertawa kecil, “mau tau aja ah. Oh iya, Nia mana sih Ran?” Rania menelan ludah, ia teringat kejadian kemaren yang Nia ceritakan padanya. “Emm… Dia gak masuk, tadi malam sakit perut.” Sebenarnya Rania tidak mau berbohong pada sahabat tetangganya, namun ia berkesimpulan bahwa Winda sudah tidak pantas lagi jadi sahabat tetangganya, Nia.

* * * * *

Sepulang sekolah Winda segera kembali ke rumah. Tiba-tiba saja ia rindu pada suasana siang di rumahnya. Bersantai di ruang TV sambil menikmati es susu cokelat. Namun sesampai di rumah, Winda terkejut dengan keberadaan banyak polisi di rumahnya yang sedikit mirip istana. Ia segera berlari masuk dan menemui papanya yang sedang ditahan oleh dua orang polisi dan mamanya sedang menangis di pelukan ibu-ibu tetangga. “Mama, apa yang terjadi?” Mamanya hanya menatap Winda dan menggeleng, tak sanggup menjelaskan apa yang telah menimpa keluarga mereka. Lalu seketika Winda ditarik ke kamar oleh Sindy, tetangganya. Sindy menjelaskan bahwa Pak Badrun, papanya Winda telah menggelapkan uang negara. Dan semua barang-barang yang berada di ‘istana’ Winda akan disita. Winda pun menangis sejadi-jadinya di pelukan Sindy.

* * * * *

Winda masih diizinkan meneruskan sekolah dengan biaya yang ditanggung oleh pamannya. Ia kini menjadi sangat pendiam dan jarang bergaul. Karena ia tau, berita korupsi papanya sudah tersebar di koran-koran. “Winda, kok kamu berubah yah?” Nia menyapa Winda dengan pelan. Winda terkejut, seketika air matanya menetes dan ia segera memeluk Nia. “Nia, ma..maafkan aku.” Nia tersenyum dan membalas pelukan Winda. Akhirnya Nia dan Winda kembali berteman baik. Winda berjanji tidak akan mengulangi kesombongannya. Karena ia sudah menyadari, harta bukan segalanya!

No comments: